Hallo sobat Mikir, Di zaman sekarang, banyak orang berpikir bahwa sekolah itu ya buat cari kerja dan cari cuan. Tapi pernah gak kita bertanya seperti apa sih idealnya sebuah sistem pendidikan itu ? Yuk kita bedah, apa bedanya pendidikan Islam dan sistem pendidikan sekuler kapitalis.
1. Orientasi Pendidikan Mencari Cuan atau Mencari Tuhan ?
Dalam Sistem pendidikan Sekuler pendidikan ditujukan untuk mencetak robot industri. Pendidikan dianggap sebagai investasi pribadi buat dapetin karier, gaji tinggi, dan posisi sosial.
Menurut World Economic Forum (WEF) 2022, pendidikan dianggap sebagai alat untuk “menghasilkan ROI” alias return of investment—kayak bisnis!
Tentu saja hal ini juga yang mengakibatkan banyak yang kehilangan makna hidup, karena semua diukur pakai materi.
Berebeda dengan pendidikan sekuler kapitalisme Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk bentuk manusia yang bertakwa, berilmu, dan bermanfaat bagi umat. Bukan cuma cari duit, tapi juga untuk cari ridho Allah dan membangun peradaban mulia.
📖 “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
2. Mencetak Manusia atau Mencetak Uang ?
Lembaga pendidikan sekuler kapitalis bukan lagi semata tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi sudah jadi komoditas bisnis. Artinya pendidikan diubah jadi produk yang dijual ke pasar — siapa yang bisa bayar, dia yang bisa sekolah.
Sekolah dan kampus swasta makin menjamur, bahkan kampus negeri pun kini punya jalur mandiri dengan biaya yang sangat tinggi. ini juga yang menyebabkan biaya pendidikan saat ini semakin mahal.
Di Indonesia, biaya masuk jalur mandiri di beberapa kampus negeri ternama bisa mencapai Rp 100 juta – Rp 300 juta hanya untuk masuk, belum biaya semesteran! Data BPS 2023: rata-rata biaya pendidikan naik sekitar 10–15% per tahun, jauh di atas inflasi umum.
Pendidikan Dijadikan Investasi Bisnis, Banyak lembaga pendidikan dikelola oleh korporasi besar atau yayasan komersial, yang fokusnya adalah keuntungan. Sekolah dibuat dengan branding elite, fasilitas mewah, dan target profit, bukan lagi pembentukan karakter.
Di AS dan Inggris misalnya, universitas top seperti Harvard, Stanford, dan Oxford memiliki dana abadi (endowment) bernilai miliaran dolar, dikelola layaknya perusahaan investasi.
Berbanding terbalik dengan sistem Pendidikan Islam, lembaga pendidikan adalah wakaf ilmu — tempat membentuk akhlak, keimanan, dan keilmuan secara GRATIS dan merata.
Pada Zaman Kekhilafahan, pendidikan dari tingkat dasar sampai universitas (madrasah dan jami’ah) tidak dipungut biaya sedikit pun. Semua dibiayai negara lewat Baitul Mal.
Sebagai contoh para pelajar di Madrasah Nizamiyah (abad ke-11) tidak dipungut biaya untuk mengenyam pendidikan di sana, dengan pengajar top seperti Imam Al-Ghazali. Dan juga Universitas Al-Azhar (didirikan 970 M): menjadi pusat ilmu Islam dan dunia tanpa sistem bayaran.
3. Guru & Akademisi Dihargai Ilmunya atau Diperas Tenaganya?
Di banyak negara, termasuk Indonesia, gaji guru dan dosen tidak mencerminkan peran vital mereka dalam membangun peradaban. Banyak yang dibayar rendah, terutama guru honorer.
Di indonesia sendiri gaji Guru Honorer (Non-ASN):Rata-rata hanya Rp 300.000 – Rp 1.000.000/bulan (tergantung daerah dan jam mengajar). Bahkan ada yang dibayar Rp 200.000. Sedangkan untuk Guru ASN (PNS) berkisar antara Rp 2.000.000 – Rp 5.000.000/bulan tergantung golongan, masa kerja, dan tunjangan.
Dosen muda S1-S2 (non-serdos) di kampus negeri bisa mulai dari Rp 2 jutaan, dan bisa naik hingga belasan juta bila sudah serdos dan PNS, namun tetap jauh dari penghasilan profesional lainnya seperti di sektor teknologi atau keuangan.
Survei Kompas (2023): 63% guru honorer merasa pendapatan mereka tidak cukup untuk kebutuhan hidup dasar. Rendahnya kesejahteraan guru pastinya akan berpengaruh pada kualitas pendidikan salah satu dampaknya adalah Guru banyak yang terpaksa cari kerja sampingan, kualitas pendidikan bisa menurun karena fokus terpecah.
Di masa kekhilafahan, guru dan akademisi bukan cuma dihormati, tapi juga dijamin finansialnya secara serius. Gaji Guru di masa kejayaan Islam dibiayai penuh oleh Baitul Mal (kas negara). Gaji diberikan dalam bentuk dinar emas (satu dinar = ±4.25 gram emas).
Menurut catatan sejarah Guru di Madrasah Nizamiyah (abad ke-11) diberi gaji tetap dan tempat tinggal. Imam Abu Yusuf (Qadhi al-Qudhah / Ketua Hakim) di masa Khalifah Harun al-Rasyid menerima gaji 500 dinar emas per bulan, setara dengan ±Rp 1,3 miliar per bulan hari ini (kurs emas Rp 1.000.000/gram).
Bahkan bukan hanya pengajar, murid-mahasiswa pun mendapatkan uang saku, makanan, tempat tinggal gratis, dan bebas biaya pendidikan. Dalam sistem Islam Pendidikan adalah hak umat, bukan produk komersil. Ilmu dimuliakan, bukan diperjualbelikan.
4. Korelasi antara Agama dan Ilmu
Dengan ketiadaan ke-Khilafahan saat ini dunia Islam akhirnya banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan sekuler. Hasilnya, pendidikan modern di bawah sistem sekuler kini membentuk dua jalur berbeda:
-
Ilmu agama (terbatas di pesantren atau fakultas syariah)
-
Ilmu umum seperti fisika, kedokteran, ekonomi — yang dipisahkan dari nilai-nilai agama
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
(QS. Al-Mujadilah: 11)
"Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama."
(QS. Fatir: 28)
Artinya: Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar seharusnya rasa takut dan tunduknya kepada Allah. Dalam sejarah Ilmuwan Muslim terdahulu tidak melihat dikotomi agama vs sains. Mereka memadukan keduanya:
-
Ibnu Sina: ahli kedokteran dan filsuf Islam. Kitab Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan di Eropa selama 600 tahun.
-
Al-Khawarizmi: ahli matematika, penemu aljabar. Ilmunya digunakan untuk mempermudah warisan dan zakat.
-
Al-Biruni: ahli geografi, astronomi, dan syariat Islam. Penelitiannya dilakukan atas dasar ibadah dan cinta ilmu karena Allah.
5. Output (Hasil) Pendidikan Melahirkan Pekerja atau Pemimpin ?
Dalam sistem sekuler kapitalis, tujuan utama pendidikan adalah mencetak tenaga kerja. Siswa dan mahasiswa dipacu untuk menjadi “siap industri”, bukan siap memimpin umat atau memperbaiki dunia. Nilai keberhasilan pendidikan pun diukur lewat seberapa cepat lulusan dapat kerja, seberapa besar gaji awal, dan bagaimana kontribusi ke pertumbuhan ekonomi, bukan ke masyarakat atau moral bangsa.
Data dari QS Employability Rankings 2022, indikator penilaian universitas mencakup Gaji awal lulusan, Waktu tunggu untuk kerja setelah lulus, Pendapat HRD terhadap kesiapan kerja lulusan.
Bahkan, World Economic Forum tahun 2023 menyoroti bahwa sistem pendidikan saat ini tidak fokus pada “purpose-driven graduates” (lulusan dengan misi hidup), melainkan pada “profit-driven workers”.
Efeknya Kita punya banyak sarjana, tapi sedikit pemimpin. Banyak ahli, tapi minim kepedulian sosial. Anak muda tahu cara coding, tapi nggak tahu cara menyelesaikan konflik sosial di sekitarnya.
Dalam Islam, tujuan pendidikan bukan sekadar menyiapkan orang untuk cari kerja, tapi mencetak khalifah – pemimpin di bumi yang amanah dan bertanggung jawab di hadapan Allah.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)
(QS. Al-Baqarah: 30)
Artinya, setiap Muslim dididik agar: Tahu hakikat hidup dan tanggung jawabnya.
Mampu mengelola bumi, masyarakat, dan dirinya sesuai syariat. Ilmunya digunakan untuk perbaikan umat, bukan sekadar kaya sendiri.
Pada zaman kekhilafahan, ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Farabi bukan hanya cerdas, tapi bermoral tinggi dan dekat dengan Allah. Pendidikan Islam melahirkan pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz, yang ketika menjadi khalifah, membuat hampir nggak ada lagi fakir miskin untuk menerima zakat.
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar ngajarin rumus atau teori, tapi ngajarin hidup. Sistem sekuler kapitalis cuma nyiapin kita buat cari kerja, tapi sistem Islam nyiapin kita buat hidup mulia di dunia dan selamat di akhirat.
