Hallo Sobat Mikir, Pagi itu, 24 September 2015, matahari Makkah memanjat cepat di atas padang pasir Mina. Udara mencapai 45 derajat Celsius, panasnya memantul di antara tenda-tenda putih yang berjajar seperti lautan kapas di tengah lembah. Jutaan jamaah dari seluruh dunia bergerak menuju satu titik yang sama Jamarat, tempat ritual lempar jumrah, simbol perlawanan terhadap setan.
Di antara mereka ada pria tua dari Nigeria yang menggenggam tasbih, sepasang suami-istri dari Indonesia yang saling berpegangan tangan agar tak terpisah, dan rombongan besar dari Iran yang melantunkan talbiyah lirih di bawah terik matahari. Semuanya ingin menyelesaikan rukun haji mereka pada waktu yang utama: pagi di hari Tasyriq kedua.
Tak ada yang tahu, pagi itu akan berubah menjadi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah ibadah haji.
Gelombang Manusia
Sekitar pukul 07.30 pagi waktu setempat, dua arus besar jamaah bergerak dari arah berbeda. Satu kelompok datang dari arah Jalan 204, jalur menuju Jamarat. Kelompok lain baru saja menyelesaikan ritual dan berjalan kembali lewat Jalan 223.
Dua arus itu seharusnya tidak bertemu. Tapi entah karena kesalahan koordinasi, atau karena perubahan rute mendadak, dua gelombang manusia bertabrakan di persimpangan yang sempit. Udara panas, ruang gerak terbatas, dan ribuan tubuh yang saling mendorong situasi berubah dari zikir menjadi kekacauan dalam hitungan menit.
Seorang saksi dari Mesir kemudian menceritakan kepada The Guardian,
“Kami tidak tahu dari mana dorongan itu datang. Tubuh-tubuh di sekitar saya mulai terangkat, bukan karena mereka melompat, tapi karena tidak ada lagi tempat berpijak.”
Beberapa jamaah mulai jatuh, pingsan, atau tersandung koper kecil yang dibawa jamaah lain. Dalam kerumunan yang begitu padat, satu orang jatuh berarti puluhan lainnya ikut terseret. Dorongan dari belakang terus datang, menciptakan tekanan seperti ombak yang tak bisa ditahan.
Dalam kondisi kepadatan seperti itu, tak ada jeritan yang terdengar. Suara manusia tenggelam dalam gemuruh massa dan panas udara. Mereka yang berada di tengah tidak bisa maju, tidak bisa mundur, tidak bisa bernapas. Compression asphyxia kematian akibat tekanan tubuh mulai terjadi.
Kepanikan dan Keheningan
Petugas keamanan yang berjaga di menara pengawas mencoba membuka jalur, tapi jalan sudah tertutup rapat oleh lautan manusia. Beberapa jamaah yang selamat mengatakan bahwa semuanya terjadi begitu cepat lima menit yang mengubah ribuan hidup.
Ketika situasi mulai reda, pemandangan di lokasi itu sulit dijelaskan dengan kata-kata: Ribuan jamaah tergeletak di jalan beraspal panas, sebagian masih menggenggam batu jumrah yang belum sempat dilemparkan. Air zam-zam tumpah dari botol, tas-tas berserakan, sandal hilang entah ke mana.
Seorang relawan dari Arab Saudi kemudian berkata kepada TIME Magazine,
"Kami menemukan keluarga yang saling berpelukan dalam posisi meninggal. Mereka tidak panik, mereka hanya tidak punya ruang untuk bernapas.”
Angka yang Membeku
Beberapa jam kemudian, laporan resmi pertama keluar.
Pemerintah Arab Saudi menyebutkan 769 orang tewas dan 934 luka-luka. Namun, seiring berjalannya waktu, angka itu tak lagi bisa menahan kenyataan di lapangan.
Negara-negara asal jamaah mulai melakukan pendataan: Iran, Mesir, Nigeria, Mali, dan Indonesia melaporkan korban yang jauh lebih besar. Associated Press menggabungkan data resmi dari 30 negara dan menemukan jumlah kematian mencapai 2.411 orang menjadikannya tragedi paling mematikan dalam sejarah haji modern.
Dari Indonesia, lebih dari 120 jamaah wafat dan puluhan lainnya hilang tanpa jejak. Banyak yang ditemukan berminggu-minggu kemudian di rumah sakit Saudi, tanpa identitas yang jelas, hanya dengan gelang haji dan potongan pakaian ihram.
Pertanyaan yang Menggantung
Ketika dunia berduka, pertanyaan pun muncul: Bagaimana mungkin tragedi seperti ini terjadi di era modern, setelah puluhan tahun reformasi manajemen haji?
Pakar crowd science dari Universitas Manchester menjelaskan:
“Kerumunan manusia bekerja seperti fluida. Ketika kepadatan mencapai lebih dari enam orang per meter persegi, setiap gerakan kecil berubah menjadi tekanan besar yang dapat mematahkan tulang atau menghentikan pernapasan tanpa disadari.”
Beberapa media internasional mengaitkan insiden ini dengan kemungkinan penutupan sementara jalur tertentu karena iring-iringan pejabat tinggi kerajaan. Tuduhan itu dibantah oleh pemerintah Arab Saudi, namun perdebatan memanas terutama setelah Iran, yang kehilangan lebih dari 46 warganya, menuntut investigasi internasional.
Setelah Langit Tenang
Raja Salman kemudian memerintahkan penyelidikan besar-besaran. Jalur yang digunakan pada hari tragedi itu ditutup total, dan sistem baru mulai diterapkan: kartu pintar jamaah, pembagian waktu melempar jumrah berdasarkan kelompok negara, serta pemantauan lewat ribuan kamera CCTV.
Namun luka itu belum tertutup. Ribuan keluarga tak pernah mendapat kepastian penuh beberapa jenazah tak pernah dikenali. Hingga kini, angka korban yang benar-benar pasti masih menjadi misteri.
Pelajaran dari Mina
Tragedi Mina 2015 adalah pengingat pahit bahwa bahkan ibadah paling suci pun bisa berubah menjadi bencana ketika manusia kehilangan kendali atas arus besar dirinya sendiri.
Itu bukan sekadar kegagalan manajemen, tapi juga pelajaran tentang keterbatasan manusia di hadapan kebesaran Tuhan bahwa kesabaran, disiplin, dan koordinasi adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Setelah 2015, pemerintah Saudi memperkuat sistem pengendalian arus jamaah, membangun jembatan Jamarat bertingkat, dan mengatur waktu lempar jumrah agar lebih terdistribusi. Dunia belajar, dengan harga yang terlalu mahal.
Kesimpulan Penulis
Di antara panas pasir dan bayangan tenda Mina, tragedi itu meninggalkan satu pesan abadi: Ibadah adalah perjalanan jiwa, tapi keselamatan adalah amanah bersama.
Ribuan nyawa yang hilang di Mina 2015 tidak sekadar angka: mereka adalah doa yang terhenti di tengah langkah, talbiyah yang tak sempat selesai. Dan setiap tahun, ketika jutaan jamaah kembali memenuhi lembah itu, gema takbir mereka membawa harapan yang sama semoga Mina tak pernah menangis lagi.
Tags:
Tragedi Kisah Nyata